Polemik kembali hadir pasca putusan Mahkamah Agung yang kontroversial. Bagaimana tidak, MA baru saja menghapuskan pasal yang berisi remisi atau pengurangan jatah hukuman bagi sejumlah narapida. Napi dalam hal ini termasuk napi kasus narkoba, pencurian uang rakyat dan terorisme. Jelas, keputusan MA ini menimbulkan kegaduhan dimana publik merasa hal ini jelas tidak adil.
Setelah sebelumnya pelaku tindak pidana korupsi berpotensi bisa mendapatkan diskon hukuman penjara, saat ini MA kembali menciptakan spesialisasi dengan menghapuskan aturan remisi bagi mereka. Padahal jika melihat fakta, hingga saat ini pun masih banyak tindakan spesialisasi bagi penjahat uang rakyat seperti diantaranya blok khusus yang dengan fasilitas mewah di dalamnya, hingga berbagai kelonggaran yang bisa mereka dapatkan di balik jeruji besi.
Di tengah spesialisasi yang membuat rakyat geram tersebut, bisa-bisanya MA kembali membuat keputusan kontroversial, yakni dengan menghapus aturan remisi. Jika memang keputusan ini resmi berlaku, maka bisa jadi tersangka kasus korupsi mendapatkan kemudahan bebas tanpa syarat di kemudian hari karena pasti akan banyak tersangka yang berusaha mengajukan remisi.
Pertimbangan MA Terhadap Keputusan Kontroversial Tersebut
Berbeda tempat, Mahkamah Agung pun sadar bahwa keputusan tersebut akan menimbulkan banyak polemik. Namun, MA juga memiliki dasar pertimbangan sendiri. Pertimbangan tersebut berdasarkan pada asas kekhilafan yang dimiliki oleh tersangka kasus tindak pidana korupsi.
Menurut MA, para “maling” uang rakyat juga manusia yang pasti melakukan kesalahan dan juga pasti memiliki perasaan bersalah. Ketika seorang tersangka tindak pidana korupsi telah menyelesaikan masa hukumannya, dan yang bersangkutan tidak lagi melakukan kesalahan selama menjalani masa hukuman, maka kelonggaran hukuman adalah sesuatu yang wajar untuk mereka terima. Asas kemanusiaan dan unsur kekhilafan adalah dua pertimbangan MA dalam pembuatan keputusan penghapusan aturan remisi bagi napi korupsi.
Pendapat Tokoh Terkait Putusan MA
Tidak hanya di kalangan masyarakat, sejumlah politisi pun angkat suara terkait keputusan mengejutkan MA. Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera menganggap keputusan MA sangat tidak sejalan dengan tindakan negara yang kini tengah gencar memerangi kasus korupsi. Jelas, tindakan “maling” uang rakyat, menurut Ali Sera, sudah masuk dalam kejahatan luar biasa karena sifatnya yang merugikan negara dan masyarakat secara luas.
Karena masuk dalam kategori kejahatan luar biasa, maka sudah seharusnya sejumlah keringanan, seperti remisi tidak boleh diberikan. Selain agar memberikan efek jera, tidak adanya keringanan hukuman atau tindakan spesialisasi selama proses penegakan hukum akan mampu menurunkan jumlah kasus tindak pidana korupsi di Tanah Air.
Pasca kemudahaan dan penghapusan remisi bagi kasus pencurian uang rakyat resmi ditegakkan, menurut Madani Ali Sera, hal ini bisa berpotensi untuk menciptakan kemerosotan pada aksi pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketika pemberantasan merosot, maka angka kasus korupsi yang tidak terungkap bisa jadi juga akan meningkat, dan kembali yang akan dirugikan adalah rakyat dan negara.
Terkait pertimbangan MA dalam pembuatan kebijakan penghapusan aturan remisi dianggap Mardani Ali Sera sebuah tindakan dan pola pikir yang mengada-ngada. Disinilah seharusnya kredibilitas MA kembali dipertanyakan. Bagaimanapun juga, tindakan korupsi adalah sesuatu yang tidak bisa dan tidak boleh dibenarkan secara hukum dan konsititusi. Asas kekhilafan adalah sebuah alasan yang mengada-ngada dan justru akan membuat adanya kemerosotan dalam penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi.