Aksi Reuni 212 Kembali Berlangsung Meski Tak Ada Izin Aparat: Aksi untuk Umat atau Tujuan Politis?

Kantor Pengacara Jakarta Dan Konsultan Hukum > Blog > Blog > Aksi Reuni 212 Kembali Berlangsung Meski Tak Ada Izin Aparat: Aksi untuk Umat atau Tujuan Politis?

Aksi Bela Islam 212 pertama kali muncul sebagai upaya protes massa yang merasa sakit hati dengan ungkapan pelecehan agama eks calon gubenur Jakarta kala itu, Basuki Thahya Purnama atau yang akrab disapa ahok. Aksi tersebut bertujuan untuk memenjarakan Ahok yang dirasa telah melakukan pelecehan agama melalui surat Al Maidah ayat 51 yang disampaikan di Kepulauan Seribu pada 2016 lalu. Berhasil! Aksi yang dihadiri oleh ribuan massa tersebut akhirnya mampu membawa Ahok harus mendekam di balik jeruji besi selama 2 tahun lamanya.

Aksi yang dimotori oleh sejumlah ormas islam tersebut, sebut saja Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dan dukungan beberapa ormas lainnya seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), eks HTI dan lain sebagainya sukses mengumpulkan ribuan massa dalam satu forum. Tentu, meski dinilai berhasil menyuarakan kepentingan umat dan berujung pada tindakan tegas terhadap penista agama, aksi tersebut juga sarat akan aksi politis.

Mengapa? Secara tidak langsung, Aksi Bela Islam 212 memberikan keuntungan politis kepada pasangan Anies-Sandi atas Ahok-Djarot yang akhirnya berhasil memenangkan Pilkada DKI tahun 2016 silam. Kemudian, kesuksesan Aksi 212 pada 2016 membuat para penggagas kembali meluncurkan aksi yang sama di tahun 2017 dan 2018. Lalu kembali lagi, di tahun 2021, aksi Reuni 212 rencananya juga akan kembali digelar dan berpusat di Monas, Jakarta.

Aksi 212, Bela Umat atau Sarat Tindakan Politis?

Jika aksi di tahun 2016 berfokus untuk memenjarakan seorang “penista agama” lalu, untuk kepentingan aksi sesudahnya bahkan di rencana Aksi Reuni 212 ini tujuannya jelas masih abu-abu. Spekulasi pun muncul mulai dari murni ajang silaturrahmi antar sesama muslim, acara dzikir kebangsaan atau bahkan aksi politik terselubung dengan kemasan agama.

Jika dilihat lagi, memang cukup banyak keganjalan yang muncul di aksi 212 hingga rencana reoni aksi 212. Keganjilan tersebut dimulai dari hadirnya sejumlah elite politik yang mayoritas merupakan pendukung Prabowo-Sandi, pembawaan bendera tauhid, kegiatan yang diawali dengan ritual keagamaan seperti ucapan takbir dan sebagainya, penyebutan kata ganti presiden, hingga berbagai kalimat kritik terhadap rezim saat ini (seperti kriminalisasi ulama, fokus pada pembangungan infrastruktur, dan sebagainya) hingga counter statement yang merajuk pada radikal, anti kebhinekaan, hingga anti pancasila.

Bagaimanapun juga, aksi reuni 212 dirasa sebagian pihak cukup berbahaya, entah sarat muatan politis hingga lantaran kondisi dunia yang sedang berada di masa pandemi. Lonjakan massa yang bahkan bisa mencapai angka ribuan dan jutaan menjadi pertimbangan aparat untuk hingga saat ini belum memberikan izin terhadap aksi bela islam tersebut. Terlebih, mengingat urgensinya yang masih sangat abu-abu.

Aksi Bela Islam 212 dan Tinjauan Politik Identitas

Kemudian, aksi bela islam 212 kerap kali dilekatkan dengan adanya Politik Identitas. Tidak boleh menutup mata, bahwa di Indonesia, agama memiliki multi identitas yang beragam. Mulai dari identitas etnis, politik, identitas personal hingga identitas nasional. Hingga nantinya, jika muncul sebuah masalah agama pasti akan memiliki pertalian dengan banyak hal dan akan melahirkan implikasi sosial-politik yang sangat besar.

Dampaknya, akan muncul letupan kekuatan yang besarnya bisa berkali-kali lipat jika aspirasi mereka tidak terwakilkan. Inilah yang disebut dengan sindrom politik identitas. Hal ini juga diperparah dengan islam sebagai agama mayoritas dari 88% persen penduduk di Indonesia.

Sejumlah pengamat bahkan menilai bahwa aksi 212 adalah murni aksi kepentingan oligarki. Bukan tanpa alasan, hal ini karena aksi dimotori oleh sejumlah aktor yang menggerakan massa dan muncul juga aktor yang menggerakkan aksi kontra 212. Kembali lagi, kesempatan tersebut dikemas dalam dasar sentimen dan fanatisme beragama. Praktiknya terbukti dalam aksi 212 dan Pilkada DKI pada 2016 silam.

Pada dasarnya, politik identitas memiliki keberagaman arti. Namun intinya, merajuk pada spirit perjuangan yang ada pada identitas yang ia anut. Tidak hanya sebagai penanda namun juga sebagai representasi dari keberadaan suatu kelompok dalam memperjuangkan identitas politiknya. Yang pada akhirnya, akan ada figur atau tokoh yang ikut andil dalam panggung politik yang bisa mewakili identitas kelompok dan memberikan manfaat atau keuntungan kepada kelompoknya sendiri. Positifnya, ini adalah jalan bagaimana aspirasi bisa semakin didengar.

Politik Identitas berbasis agama memang sebuah ironi yang nyata. Namun, tindakan tegas untuk melarang identitas gerakan dengan atribut agama, adalah ibarat melarang anggotanya bernafas tanpa menggunakan oksigen. Karena, dengan solidaritas kelompok dan aksi itulah mereka bisa mendapatkan apa yang mereka perjuangkan. Namun, gerakan politik secara membabi buta dengan identitas agama juga sangat berbahaya. Hal ini karena aksi tersebut bisa mengancam keberagaman dan pluralisme.

Maka, hal yang paling tepat yang harus diupayakan adalah dengan melaksanakan praktik politik identitas dengan bijak dan sesuai dengan porsinya. Toh, dengan aksi yang sesuai porsinya, hal ini juga banyak membawa dampak positif. Kemudian, perlu digaris bawahi lagi, jika kepentingan umat manusia secara umum dalam menciptakan negara yang damai, tenang, aman dan bahagia untuk semua pihak maupun kelompok adalah tujuan paripurna yang seharusnya dijunjung tinggi oleh semua kelompok.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat